Seorang petani miskin dan seorang saudagar kaya mempersembahkan hadiah di hadapan sang raja. Si petani membawa seekor ayam sedangkan sang saudagar mempersembahkan lima ekor ayam. Setelah ayam-ayam tersebut dipersembahkan kehadapan sang raja, maka sang raja pun bertanya, ”Mengapa kalian mempersembahkan ayam-ayam ini kepada ku?”
Sang saudagar menjawab dengan lantang, ”Hamba mempersembahkan lima ekor ayam ini karena hamba telah mendapatkan keuntungan yang besar dalam usaha hamba.”
Sang raja nampak tidak terkesan dengan jawaban sang saudagar. Lalu ia pun bertanya kepada si petani, ”Dan kamu, mengapa kamu mempersembahkan seekor ayam kepada ku?”
”Hamba mempersembahkan hanya satu ekor ayam karena hamba berdoa agar Baginda dan kerajaan yang Baginda pimpin ini tetap utuh sebagai satu kesatuan.” Jelas sang petani.
”Oh, begitu.” Baginda pun termanggut-manggut. ”Sekarang, coba jelaskan bagaimana Aku dan keluargaku sebaiknya menyantap ayam persembahanmu ini?”
”Begini Baginda, sebagai seorang raja yang memimpin negeri ini, Baginda merupakan kepala negara. Karena itu, Baginda sebaiknya menyantap kepala ayam ini sebagai simbol kepemimpinan Baginda.” Sang petani mulai menjelaskan. ”Tuanku Ratu, yang mendampingi Baginda dalam menjalankan roda pemerintahan, merupakan pendamping setia yang ikut menentukan arah Sang Pemimpin, karena itu, Tuanku Ratu ibarat leher dari ayam ini sehingga sebaiknya Tuanku Ratu menyantap leher dari ayam ini.”
Sang raja tertegun mendengar penjelasan si petani. ”Lalu bagaimana dengan anak-anak kami?” Tanya sang ratu yang duduk persis di sebelah kanan sang raja.
”Untuk kedua pangeran, mereka merupakan tiang-tiang pancang yang kokoh bagi ketahanan kerajaan ini. Kekokohan mereka sama ibaratnya dengan kedua kaki dari ayam ini. Karenanya, kedua pangeran sebaiknya menyantap kaki-kaki ayam ini.” Kata si petani dengan tenang. ”Sedangkan untuk kedua puteri, karena mereka akan menikah dengan pangeran-pangeran dari negeri seberang, maka mereka ibarat sepasang sayap ayam ini yang memberikan bimbingan terhadap perjalanan mereka. Sehingga, hamba menyarankan agar kedua puteri menyantap sayap-sayap ini.” Demikian si petani mengakhiri penjelasannya.
Raja dan ratu tampak senang dengan penjelasan si petani. ”Kau sangat bijak rakyatku. Tapi bagaimana dengan badan ayam ini? Bukankah dari tadi kau belum menyinggungnya sama sekali?” Sang raja yang kali ini bertanya.
”Baginda,” si petani menahan nafas, ”Hamba sangat peduli dengan kesehatan Baginda yang sudah sering menikmati hidangan lezat dari koki istana. Menyantap terlalu banyak hidangan lezat kurang baik untuk kesehatan Baginda tentunya.” Begitu penjelasan si petani. Lalu, ia pun melanjutkan kalimatnya, ”Karena itu, perkenankanlah hamba membawa kembali badan ayan ini agar dapat hamba bagikan kepada keluarga hamba dan tetangga-tetangga hamba yang akan sangat gembira sekali mendapatkan badan ayam ini untuk disantap bersama-sama.”
Raja dan ratu pun tertawa geli namun sambil manggut-manggut, raja membenarkan ucapan sang petani. Di tengah tawanya, tiba-tiba sang ratu bertanya, ”Lalu bagaimana dengan lima ekor ayam yang diberikan oleh sang saudagar?”
Sang saudagar kebingungan sehingga tidak bisa menjawab. Ia pun hanya terdiam seribu basa. Si petani kemudian memberanikan diri menjawab, ”Baginda ratu, perkenankanlah hamba menjawab.” Ratu pun kemudian mempersilahkan.
”Ayam-ayam pemberian saudagar ini sebaiknya tidak disantap melainkan dipelihara saja.” Si petani mengawali penjelasannya. ”Tuanku Raja dan Ratu memelihara satu ekor ayam, tuanku kedua pangeran memelihara satu ekor ayam dan tuanku kedua puteri memelihara satu ekor ayam.” Demikian lanjut si petani. ”Sedangkan sisa dua ekor ayam, biarlah hamba yang memelihara.”
Dengan keheranan ratu pun bertanya, ”Mengapa engkau membaginya seperti itu Petani?”
”Tuanku raja dan ratu beserta satu ekor ayam jumlahnya menjadi tiga. Demikian pula dengan tuanku kedua pangeran dan tuanku kedua puteri.” Si petani pun menjelaskan. ”Begitu pun hamba dan kedua ekor ayam ini jumlahnya menjadi tiga.”
Raja dan ratu pun sangat senang dengan cara si petani membagi-bagikan kelima ekor ayam tersebut. Maka si petani pun diperkenankan pulang membawa dua ekor ayam dan sisa badan ayam miliknya yang sudah dipersembahkan kepada raja. Ia yang hanya mempersembahkan tidak sampai satu ekor ayam mendapatkan pujian dari raja dan ratu. Di pihak lain, sang saudagar pulang dengan tidak mendapatkan pujian dari raja dan ratu padahal ia mempersembahkan lebih banyak ayam.
Kisah di atas mungkin cukup menggelikan bagi sebagian para pembaca. Namun di balik itu, kisah di atas juga mengingatkan kita tentang satu hal: kebahagiaan dari suatu hadiah yang diterima seseorang tidak selalu ditentukan oleh nilai materialnya. Ada hal-hal lain yang juga memberikan kegembiraan dari suatu hadiah. Salah satu yang paling penting adalah bagaimana hadiah tersebut dimaknai baik oleh orang yang memberikan maupun orang yang menerimanya.
Sang saudagar menjawab dengan lantang, ”Hamba mempersembahkan lima ekor ayam ini karena hamba telah mendapatkan keuntungan yang besar dalam usaha hamba.”
Sang raja nampak tidak terkesan dengan jawaban sang saudagar. Lalu ia pun bertanya kepada si petani, ”Dan kamu, mengapa kamu mempersembahkan seekor ayam kepada ku?”
”Hamba mempersembahkan hanya satu ekor ayam karena hamba berdoa agar Baginda dan kerajaan yang Baginda pimpin ini tetap utuh sebagai satu kesatuan.” Jelas sang petani.
”Oh, begitu.” Baginda pun termanggut-manggut. ”Sekarang, coba jelaskan bagaimana Aku dan keluargaku sebaiknya menyantap ayam persembahanmu ini?”
”Begini Baginda, sebagai seorang raja yang memimpin negeri ini, Baginda merupakan kepala negara. Karena itu, Baginda sebaiknya menyantap kepala ayam ini sebagai simbol kepemimpinan Baginda.” Sang petani mulai menjelaskan. ”Tuanku Ratu, yang mendampingi Baginda dalam menjalankan roda pemerintahan, merupakan pendamping setia yang ikut menentukan arah Sang Pemimpin, karena itu, Tuanku Ratu ibarat leher dari ayam ini sehingga sebaiknya Tuanku Ratu menyantap leher dari ayam ini.”
Sang raja tertegun mendengar penjelasan si petani. ”Lalu bagaimana dengan anak-anak kami?” Tanya sang ratu yang duduk persis di sebelah kanan sang raja.
”Untuk kedua pangeran, mereka merupakan tiang-tiang pancang yang kokoh bagi ketahanan kerajaan ini. Kekokohan mereka sama ibaratnya dengan kedua kaki dari ayam ini. Karenanya, kedua pangeran sebaiknya menyantap kaki-kaki ayam ini.” Kata si petani dengan tenang. ”Sedangkan untuk kedua puteri, karena mereka akan menikah dengan pangeran-pangeran dari negeri seberang, maka mereka ibarat sepasang sayap ayam ini yang memberikan bimbingan terhadap perjalanan mereka. Sehingga, hamba menyarankan agar kedua puteri menyantap sayap-sayap ini.” Demikian si petani mengakhiri penjelasannya.
Raja dan ratu tampak senang dengan penjelasan si petani. ”Kau sangat bijak rakyatku. Tapi bagaimana dengan badan ayam ini? Bukankah dari tadi kau belum menyinggungnya sama sekali?” Sang raja yang kali ini bertanya.
”Baginda,” si petani menahan nafas, ”Hamba sangat peduli dengan kesehatan Baginda yang sudah sering menikmati hidangan lezat dari koki istana. Menyantap terlalu banyak hidangan lezat kurang baik untuk kesehatan Baginda tentunya.” Begitu penjelasan si petani. Lalu, ia pun melanjutkan kalimatnya, ”Karena itu, perkenankanlah hamba membawa kembali badan ayan ini agar dapat hamba bagikan kepada keluarga hamba dan tetangga-tetangga hamba yang akan sangat gembira sekali mendapatkan badan ayam ini untuk disantap bersama-sama.”
Raja dan ratu pun tertawa geli namun sambil manggut-manggut, raja membenarkan ucapan sang petani. Di tengah tawanya, tiba-tiba sang ratu bertanya, ”Lalu bagaimana dengan lima ekor ayam yang diberikan oleh sang saudagar?”
Sang saudagar kebingungan sehingga tidak bisa menjawab. Ia pun hanya terdiam seribu basa. Si petani kemudian memberanikan diri menjawab, ”Baginda ratu, perkenankanlah hamba menjawab.” Ratu pun kemudian mempersilahkan.
”Ayam-ayam pemberian saudagar ini sebaiknya tidak disantap melainkan dipelihara saja.” Si petani mengawali penjelasannya. ”Tuanku Raja dan Ratu memelihara satu ekor ayam, tuanku kedua pangeran memelihara satu ekor ayam dan tuanku kedua puteri memelihara satu ekor ayam.” Demikian lanjut si petani. ”Sedangkan sisa dua ekor ayam, biarlah hamba yang memelihara.”
Dengan keheranan ratu pun bertanya, ”Mengapa engkau membaginya seperti itu Petani?”
”Tuanku raja dan ratu beserta satu ekor ayam jumlahnya menjadi tiga. Demikian pula dengan tuanku kedua pangeran dan tuanku kedua puteri.” Si petani pun menjelaskan. ”Begitu pun hamba dan kedua ekor ayam ini jumlahnya menjadi tiga.”
Raja dan ratu pun sangat senang dengan cara si petani membagi-bagikan kelima ekor ayam tersebut. Maka si petani pun diperkenankan pulang membawa dua ekor ayam dan sisa badan ayam miliknya yang sudah dipersembahkan kepada raja. Ia yang hanya mempersembahkan tidak sampai satu ekor ayam mendapatkan pujian dari raja dan ratu. Di pihak lain, sang saudagar pulang dengan tidak mendapatkan pujian dari raja dan ratu padahal ia mempersembahkan lebih banyak ayam.
Kisah di atas mungkin cukup menggelikan bagi sebagian para pembaca. Namun di balik itu, kisah di atas juga mengingatkan kita tentang satu hal: kebahagiaan dari suatu hadiah yang diterima seseorang tidak selalu ditentukan oleh nilai materialnya. Ada hal-hal lain yang juga memberikan kegembiraan dari suatu hadiah. Salah satu yang paling penting adalah bagaimana hadiah tersebut dimaknai baik oleh orang yang memberikan maupun orang yang menerimanya.
(Tulisan ini dari seorang rekan netter Jemy V. Confido)
0 komentar