Aku terlahir dari keluarga sederhana pasangan Muhammad Tahir dan Nurbaya (yang ini bukan dari novel lho) tanggal 5 April 1975 di salah satu Kabupaten ex-Provinsi Sulawesi Selatan yakni Polmas (sekarang Polman) Provinsi Sulawesi Barat. Aku memiliki 3 orang saudara dan terlahir sebagai anak kedua.
Hidup dan besar dari satu Kabupaten ke Kabupaten lain membuat hidup saya makin berwana. Banyak teman dan pengalaman membuat saya ‘ga’ susah untuk bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang strata dan tahta. ‘Emang’ asyik rasanya (menurut hemat saya) jika terlahir dari keluarga biasa-biasa saja, soalnya bisa masuk ke jenjang apa saja, bisa bergaaul dengan siapa saja, bisa berteman dengan siapa saja. Terkadang saya berfikir bagaimana susahnya ‘orang berada’ tuk bergaul ‘ma’ orang-orang yang hidupnya serba kekurangan……. Larangan inilah dari sang Ayah, jangan ’gaul ma’ itulah kata sang ibu……. Wuih, betul-betul serba punya aturan. Beda dengan kehidupan saya dan anak-anak kebanyakan yang bisa ‘gaul’ kemana saja, bisa bermain dimana saja.
Menyelesaikan kuliah sebagai Sarjana Teknik Jurusan Sipil di Universitas Hasanuddin dengan IPK ‘lumayan’ tak membuatku bangga, soalnya banyak atau malah sangat banyak alumni-alumni serupa yang malah masih menganggur. Untuk itu, dengan modal nekad saya memberanikan diri mengais rejeki di tanah orang yaitu Samarinda Kalimantan Timur. Tiga tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk menambah perbendaharaan karakter pergaulanku. Banyak pengalaman hidup dan pengalaman pekerjaan yang sangat-sangat saya syukuri telah mengisi hidupku. Dari Proyek yang satu ke Proyek yang lain, dari kabupaten satu ke kabupaten yang lain hingga seolah tak sadar, ternyata proyek terakhir saya yaitu perintisan jalan penghubung antar kabupaten ternyata letaknya di Pedalaman Kalimantan Timur. Huff……… suatu pengalaman yang sukar tuk dilupakan. Tontonan harian, hanyalah satwa-satwa hutan, dengan sekali-seminggu pasar kaget.
Ada dua alasan saya tuk “Pulkam” yaitu: mengabdi di daerah sendiri dan membina keluarga. Dan ternyata alasan kedualah yang sangat kuat…hahahahahaha.
Calon istri saya adalah juga dari orang kebanyakan, adalah dari keluarga biasa-biasa ‘aja’. Bukan karena tidak PD ‘ga’ bisa mendapatkan istri yang lebih ‘tajir’, tapi karena alasan kesederhanaan. Saya ‘emang’ sangat menyukai segala sesuatu yang ‘simple’ alias sederhana. Saking senangnya lihat yang sederhana, jika ada cewe yang berdandan berlebih-lebihan, aku pasti buang muka. ‘Ga sreg’ melihatnya. Mulai dari pacar pertama sampai yang terakhir__kayaknya ‘ngga’ etis jika menyebutkan jumlah__ semua dandanannya sederhana.
Namanya Aisyah, perkenalan pertama di Lapangan Basket Karebosi. Dari ‘terawangan’ pertama, anaknya supel, riang, sederhana dan baik. Dengan basa-basi minta no. telepon ……… maka jadi deh. Ternyata ‘emang’ anaknya seperti yang saya bayangkan tadi, periang, supel dan sederhana dalam pergaulan. Nyanyi, ikut festival Band dan bermain teater adalah kegiatan rutinnya sehari-hari. Mau tak mau, dan dengan terpaksa aku juga sering-sering ikut nonton festival-festival Band, teater dan seabreg kegiatannya. But it’s Ok, aku sih ‘enjoy aja’. Empat tahun kami menjalani masa-masa pacaran, sampai akhirnya aku memberanikan diri meminangnya secara langsung ke ‘ortu’nya. Nekad apa berani? Ga’ tau sebutannya apa.
11 Agustus 2002, hari yang sangat bersejarah bagi kami berdua. Hari dimana kami diikat dengan kata-kata suci hanya karena Allah Rabb yang maha menyatukan. “Ijab Kabul” dengan persaksian malaikat, Imam, kerabat dan handai taulan. Hari dimana kami mengikat sebuah janji ‘tuk hidup bersama, dalam suka dan duka. Hari dimana kami menanam asa meraih segala kebahagiaan yang Allah Azza Wa Jalla siapkan untuk umat manusia. Hari yang telah merubah arah biduk kehidupan masing-masing dari kami menjadi satu arah. Hari pernikahan kami.
24 Agustus 2003, kebahagiaan itu kembali ‘membuncah’ dengan kehadiran malaikat kecil kami yang pertama, Amaliah Putri. Malaikat kecil yang kian menyatukan rasa kebersamaan kami, kebahagiaan kami dan meramaikan biduk kehidupan kami. Malaikat kecil yang selalu memancarkan cahaya keceriaan ke kehidupan kami.
Menjaga, mendidik, mengasuh adalah rutinitas yang sangat-sangat menyenangkan dan membahagiakan. Begadang sampai pagi hanya karena ingin menjaganya dari gigitan nyamuk adalah hal yang rela dan harus kami lakukan. Memandikannya, mengganti popoknya, menyuapnya adalah hari-hari yang mempesona. Huff…….. akankah kebahagiaan ini tetap bertahan ya Penguasa Kehidupan???
Alhamdulillah, kini dia sudah bisa mandiri, semua karena didikan kami dan orang-orang disekeliling kami yang hanya dengan berbekal setitik ilmu Sang Penguasa. Terima kasih Yaa Allah atas segala limpahan rezeki, rahmat dan kasih sayangmu kepada keluarga kecil kami.
11 November 2006, sosok mungil kembali menyapa kami. “Apa kabar Dunia….Apa kabar mami….Apa kabar Papi….Apa kabar Kakak Amel…. Inilah aku, Nadya Ulya yang akan menambah keceriaan dan kebahagiaan kalian” Mungkin demikianlah yang engkau katakan kepada kami walau itu hanya berbentuk tangisan. Engkau adalah sumber inspirasiku….. bidadari mungilku. Kadang malah aku sebut kamu sebagai “my little soul”. Entah kenapa, aku begitu sayang, cinta, gemes, gregetan, kalau memandangi kamu. Apa karena kamu lucu?
Kami berharap…..engkau bisa melengkapi kebahagiaan kami, bisa menyeimbangkan biduk kehidupan kami, bisa terus meng-inspirasi kami, hingga kami menanti takdir kami……….
---------- Awal Oktober ‘09
0 komentar